A.
Perkawinan
1. Pengertian Perkawinan
Perkawinan
dalam fiqh berbahasa arab disebut dengan dua kata, yaitu nikah dan zawaj. Kata na-kaha dan za-wa-ja terdapat dalam Al-Qur’an dengan arti kawin yang berarti
bergabung, hubungan kelamin, dan juga berarti akad.
Menurut Fiqh, nikah adalah salah satu asas pokok hidup
yang paling utama dalam pergaulan atau masyarakat yang sempurna. Pernikahan itu
bukan hanya untuk mengatur kehidupan rumah tangga dan keturunan, tetapi juga
perkenalan antara suatu kaum dengan kaum yang lainnya.
Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 pengertian
perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita
sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang
bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa
Menurut Kompilasi Hukum Islam pasal 2 perkawinan adalah
suatu pernikahan yang merupakan akad yang sangat baik untuk mentaati perintah
Allah dan pelaksanaanya adalah merupakan ibadah.
Pernikahan dianggap sah apabila dilakukan menurut hukum
perkawinan masing-masing agama dan kepercayaan serta tercatat oleh lembaga yang
berwenang menurut perundang-undangan yang berlaku.
2. Hukum Perkawinan
Pada dasarnya Islam sangat menganjurkan kepada umatnya
yang sudah mampu untuk menikah. Namun karena adanya beberapa kondisi yang
bermacam - macam, maka hukum nikah ini dapat dibagi menjadi lima macam.
a.
Sunnah, bagi orang yang
berkehendak dan baginya yang mempunyai biaya sehingga dapat memberikan nafkah
kepada istrinya dan keperluan - keperluan lain yang mesti dipenuhi.
b.
Wajib, bagi orang yang
mampu melaksanakan pernikahan dan kalau tidak menikah ia akan terjerumus dalam
perzinaan.
c.
Makruh, bagi orang
yang tidak mampu untuk melaksanakan pernikahan karena tidak mampu memberikan
belanja kepada istrinya atau kemungkinan lain lemah syahwat.
d.
Haram, bagi orang yang
ingin menikahi dengan niat untuk menyakiti istrinya atau menyia - nyiakannya.
Hukum haram ini juga terkena bagi orang yang tidak mampu memberi belanja kepada
istrinya, sedang nafsunya tidak mendesak.
e.
Mubah, bagi orang -
orang yang tidak terdesak oleh hal - hal yang mengharuskan segera nikah atau
yang mengharamkannya.
3. Rukun dan Syarat Perkawinan
Rukun perkawinan adalah sebagai berikut :
a.
Calon suami
b.
Calon istri
Syarat – syarat calon mempelai :
1)
Keduanya jelas
identitasnya dan dapat dibedakan dengan yang lainnya, baik menyangkut nama,
jenis kelamin, keberadaan, dan hal lain yang berkenaan dengan dirinya.
2)
Keduanya
sama-sama beragama islam.
3)
Antara keduanya
tidak terlarang melangsungkan perkawinan.
4)
Kedua belah
pihak telah setuju untuk kawin dan setuju pula pihak yang akan mengawininya.
UU Perkawinan mengatur persyaratan persetujuan kedua
mempelai ini dalam Pasal 6 dengan rumusan yang sama dengan fiqh. Perkawinan
harus didasarkan atas persetujuan kedua mempelai. KHI mengatur persetujuan
kedua mempelai itu dalam Pasal 16.
5)
Keduanya telah
mencapai usia yang layak untuk melangsungkan perkawinan.
Batas usia dewasa untuk calon mempelai diatur dalam UU
Perkawinan pada Pasal 7 dan KHI mempertegas persyaratan tersebut.
c.
Wali nikah dari
mempelai perempuan
Syarat – syarat wali :
1) Telah dewasa dan berakal
sehat
2) Laki – laki. Tidak boleh
perempuan.
3) Muslim
4) Orang merdeka
5) Tidak berada dalam
pengampuan
6) Berpikiran baik
7) Adil
8) Tidak sedang melakukan
ihram, untuk haji atau umrah.
UU Perkawinan sama sekali tidak menyebutkan adanya wali,
yang disebutkan hanyalah orang tua, itupun kedudukannya sebagai orang yang
harus dimintai izinnya pada waktu melangsungkan perkawinan. Hal itu diatur
dalam Pasal 6 ayat (2), (3), (4), (5), dan (6). KHI berkenaan dengan wali
menjelaskan secara lengkap mengikuti fiqh dalam Pasal 19, 20, 21, 22, dan 23.
d. Dua orang saksi
Syarat – syarat saksi :
1) Saksi itu berjumlah
paling kurang dua orang.
2) Kedua saksi itu adalah
bergama islam.
3) Kedua saksi itu adalah
orang yang merdeka.
4) Kedua saksi itu adalah
laki – laki.
5) Kedua saksi itu bersifat
adil.
6) Kedua saksi itu dapat
mendengar dan melihat.
UU Perkawinan tidak menghadirkan saksi dalam syarat-syarat
perkawinan, namun menghadirkan saksi dalam Pembatalan Perkawinan yang diatur
dalam Pasal 26 ayat (1). KHI mengatur saksi dalam perkawinan mengikuti fiqh
yang terdapat dalam Pasal 24, 25, dan 26.
e Ijab dan Qabul
Ijab adalah penyerahan dari pihak
pertama, sedangkan qabul adalah penerimaan dari pihak kedua.
Syarat – syarat akad nikah :
1) Akad harus dimulai
dengan ijab dan dilanjutkan dengan qabul.
2) Materi dari ijab dan qabul tidak boleh berbeda.
Ijab dan qabul harus diucapkan secara
bersambungan tanpa terputus walaupun sesaat. Ijab dan qabul mesti
menggunakan lafaz yang jelas dan terus terang.
UU Perkawinan tidak mengatur tentang akad pernikahan, namun
KHI secara jelas mengatur dalam Pasal 27, 28, dan 29.
B.
Dasar Hukum Perkawinan
1. Menurut Fiqh Munakahat
a. Dalil Al-Qur’an
Allah SWT berfirman dalam surat An - Nisa Ayat 3 sebagai
berikut :
” Dan
jika kamu takut tidak akan berlaku adil terhadap anak yatim, maka kawinilah
perempuan-perempuan lain yang kamu senangi, dua, tiga atau empat
dan jika kamu takut
tidak akan berlaku adil, cukup sayu orang.” (An - Nisa : 3).
Ayat ini memerintahkan kepada orang
laki - laki yang sudah mampu untuk melaksanakan nikah. Adapun yang dimaksud
adil dalam ayat ini adalah adil didalam memberikan kepada istri berupa pakaian,
tempat, giliran dan lain - lain yang bersifat lahiriah. Ayat ini juga
menerangkan bahwa islam memperbolehkan poligami dengan syarat - syarat
tertentu.
Menurut Al-Qur’an, Surat Al
A’raaf ayat 189 berbunyi
:
“Dialah yang menciptakan kamu
dari suatu zat dan daripadanya Dia menciptakan istrinya agar Dia merasa
senang.” (Al
A’raaf : 189).
Sehingga perkawinan adalah menciptakan kehidupan keluarga
anatar suami istri dan anak-anak serta orang tua agar tercapai suatu kehidupan
yang aman dan tenteram (Sakinah),
pergaulan yang saling mencintai (Mawaddah)
dan saling menyantuni (Rohmah).
b. Dalil As-Sunnah
Diriwayatkan
dari Abdullah bin Mas’ud r.a. dari Rasulullah yang bersabda, “Wahai para pemuda, barangsiapa dioantara
kalian memiliki kemampuan, maka nikahilah, karena itu dapat lebih baik menahan
pandangan dan menjaga kehormatan. Dan siapa yang tidak memiiki kemampuan itu,
hendaklah ia selalu berpuasa, sebab puasa itu merupakan kendali baginya. (H.R.Bukhari-Muslim).
2.
Menurut Undang – Undang Perkawinan tahun 1974
Landasan
hukum terdapat dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 2 ayat (2) UU Perkawinan yang rumusannya :
Perkawinan
adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Tiap – tiap perkawinan dicatat menurut peraturan – peraturan, pereundang –
undangan yang berlaku.
3.
Menurut Kompilasi Hukum Islam
Dasar perkawinan dalam Kompilasi
Hukum Islam Pasal 2 dan 3 disebutkan bahwa :
Perkawinan
menurut Hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau
miitsaaqan ghaliizhan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya
merupakan ibadah. Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga
yang sakinah, mawaddah, dan rahmah.
C.
Hikmah Perkawinan
1. Perkawinan
dapat menentramkan jiwa dan menghindarkan perbuatan maksiat.
2. Perkawinan
untuk melanjutkan
keturunan
3. Bisa
saling melengkapi dalam suasana hidup dengan anak – anak.
4.
Menimbulkan tanggung jawab dan menimbulkan sikap rajin dan sungguh – sungguh
dalam
mencukupi keluarga.
5. Adanya
pembagian tugas, yang satu mengurusi rumah tangga dan yang lain bekerja diluar.
6. Menumbuhkan
tali kekeluargaan dan mempererat hubungan.
D.
Analisis Perbandingan
1.
Fiqh Munakahat dan UU Perkawinan
Fiqh Munakahat sebagai hukum agama mendapat pengakuan resmi
dari UU Perkawinan untuk mengatur hal – hal yang berkaitan dengan perkawinan.
Dengan melihat Pasal 2 ayat (1) tentang landasan hukum perkawinan itu
berarti bahwa apa yang dinyatakan sah menurut fiqh munakahat juga disahkan
menurut UU Perkawinan. UU Perkawinan secara prinsip dapat diterima karena tidak
menyalahi ketentuan yang berlaku dalam fiqh munakahat tanpa melihat mazhab fiqh
tertentu.
2.
KHI dan UU Perkawinan
KHI disusun dengan maksud untuk melengkapi UU Perkawinan dan
diusahakan secara praktis mendudukkannya sebagai hukum perundang-undangan
meskipun kedudukannya tidak sama dengan itu dan materinya tidak boleh
bertentangan dengan UU Perkawinan untuk itu seluruh materi UU Perkawinan
disalin ke dalam KHI meskipun rumusannya sedikit berbeda. Pasal-pasal KHI yang
diatur diluar perundang-undangan merupakan pelengkap yang diambil dari fiqh
munakahat, terutama menurut mazhab Syafi’iy.
3.
Fiqh Munakahat dan KHI
Di atas telah dijelaskan hubungan antara fiqh munakahat
dengan UU Perkawinan tentang perkawinan dengan segala kemungkinannya. dan
dijelaskan pula bahwa KHI adalah UU Perkawinan yang dilengkapi dengan fiqh
munakahat atau dalam arti lain bahwa fiqh munakahat adalah bagian dari KHI.
Fiqh munakahat yang merupakan bagian dari KHI tidak seluruhnya sama dengan fiqh
munakahat yang terdapat dalam mazhab yang dianut selama ini mazhab Syafi’iy.
BENTUK
PERNIKAHAN YANG DIBATALKAN ISLAM
1.
Pergundikan
2.
Tukar-menukar Isteri
3.
Perkawinan Pinjam (Gadai)
4.
Sejumlah laki-laki (di bawah 10
orang) secara bersama-sama mengumpuli seorang perempuan.
5.
Perempuan-perempuan yang tidak
menolak untuk digauli oleh banyak laki-laki.
B. TALAK (PERCERAIAN)
1.
Pengertian talak
Talak secara bahasa : ( التخلية) melepaskan. Sedangkan secara syar’i : ( حل قيد النكاح أو بعضه) Melepaskan ikatan
pernikahan secara menyeluruh atau sebagiannya. (Al-mulakhos Al-Fiqhiy :
410)
2.
Dalil disyari’atkannya
talak dari Al-Qur’an, As-Sunnah dan Ijma.
Dalil
dari Al-Qur’an :
الطَّلاقُ مَرَّتَانِ فَإمْسَاكٌ
بِمَعْرُوفٍ أَوْ تَسْرِيحٌ بِإِحْسَانٍ
“Thalak (yang dapat dirujuki) dua
kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma’ruf atau menceraikan
dengan cara yang baik.” (Al Baqarah : 229)
Dalil
dari Sunnah
Diantaranya sebuah hadits yang
diriwayatkan dari Ibnu Umar rahiyallahu anhuma bahwasannya dia menalak istrinya
yang sedang haidh. Umar menanyakan hal itu kepada Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
مُرْهُ فَلْيُرَاجِعْهَا ثُمَّ
لْيَتْرُكْهَا حَتَّى تَطْهُرَ ثُمَّ تَحِيضَ ثُمَّ تَطْهُرَ ثُمَّ إِنْ شَاءَ
أَمْسَكَ بَعْدُ وَإِنْ شَاءَ طَلَّقَ قَبْلَ أَنْ يَمَسَّ فَتِلْكَ الْعِدَّةُ
الَّتِى أَمَرَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ أَنْ يُطَلَّقَ لَهَا النِّسَاءُ
“Perintahkan kepadanya agar dia
merujuk istrinya, kemudian membiarkan bersamanya sampai suci, kemudian haid
lagi, kemudian suci lagi. Lantas setelah itu terserah kepadanya, dia bisa
mempertahankannya jika mau dan dia bisa menalaknya (mencraikannya) sebelum
menyentuhnya (jima’) jika mau. Itulah iddah seperti yang diperintahkan
oleh Allah agar para istri yang ditalak dapat langsung menhadapinya (iddah)” (HR.
Bukhari dan Muslim).
Ijma
Berkata Asy-Syaikh
Al-Allamah Shalih Al-Fauzan : “Sungguh telah dihikayatkan adanya ijma’
atas di syariat-kannya talak (cerai) lebih dari satu ulama.” (Al-Mulakhos
Al-Fiqhiy : 411)
3.
Hukum Talak
Berkata Asy-Syaikh
Shalih Al-Fauzan : “Adapun hukumnya berbeda-beda sesuai dengan
perbedaan keadaan, terkadang hukumnya mubah, terkadang hukumnya makruh, terkadang
hukumnya mustahab (sunnah), terkadang hukumnya wajib, dan terkadang hukumnya
haram. Hukumnys sesuai dengan hukum yang lima.” (Al-Mulakhos
Al-Fiqhiy : 410)
- Makruh
Talak yang hukumnya makruh yaitu ketika
suami menjatuhkan thalaq tanpa ada hajat (alasan) yang menuntut terjadinya
perceraian. Padahal keadaan rumah tangganya berjalan dengan baik.
- Haram
Talak yang hukumnya haram yaitu ketika
di jatuhkan tidak sesuai petunjuk syar’i. Yaitu suami menjatuhkan thalaq dalam
keadaan yang dilarang dalam agama kita. dan terjadi pada dua keadaan:
Pertama : Suami menjatuhkan thalaq ketika istri sedang dalam
keadaan haid
Kedua : Suami menjatuhkan
thalaq kepada istri pada saat suci setelah digauli tanpa diketahui hamil/tidak.
- Mubah (boleh)
Talak yang hukumnya
mubah yaitu ketika suami (berhajat) atau mempunyai alasan untuk menalak
istrinya. Seperti karena suami tidak mencintai istrinya, atau karena perangai
dan kelakuan yang buruk yang ada pada istri sementara suami tidak sanggup
bershabar kemudian menceraikannya. Namun bershabar lebih baik.
فَإِنْ كَرِهْتُمُوهُنَّ فَعَسَى أَنْ
تَكْرَهُوا شَيْئًا وَيَجْعَلَ اللهُ فِيهِ خَيْرًا كَثِيرًا
“Kemudian bila kamu tidak menyukai
mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, Padahal
Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.” (Qs. An-Nisa’ : 19)
- Sunnah
Talak yang hukumnya
sunnah ketika di jatuhkan oleh suami demi kemaslahatan istrinya serta mencegah
kemudharatan jika tetap bersama dengan dirinya, meskipun sesungguhnya suaminya
masih mencintainya. Seperti sang istri tidak mencintai suaminya, tidak bisa
hidup dengannya dan merasa khawatir tidak bisa menjalankan tugasnya sebagai
seorang istri. Talak yang dilakukan suami pada keadaan seperti ini terhitung
sebagai kebaikan terhadap istri. Hal ini termasuk dalam keumuman firman Allah subhaanahu
wata’ala :
وَأَحْسِنُوا إِنَّ اللهَ يُحِبُّ
المُحْسِنِينَ
“Dan berbuat baiklah, karena
Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.” (Qs. Al
Baqarah :195)
- Wajib
Talak yang hukumnya
wajib yaitu bagi suami yang meng-ila’ istrinya (bersumpah tidak akan menggauli
istrinya lebih dari 4 bulan setelah masa penangguhannya selama empat bulan
telah habis, bilamana ia enggan kembali kepada istrinya. Hakim berwenang
memaksanya untuk menalak istrinya pada keadaan ini atau hakim yang menjatuhkan
thalak tersebut. (Silahkan lihat Al-Mulakhos Al-Fiqhiy, Fiqih Muyyasar dan
yang lainnya).
4. Talak hanya jatuh jika diucapkan adapun hanya niat semata tidak jatuh.
Syarat cukup jatuhnya talak:
·
Talak hanya jatuh jika di
ucapkan. Adapun niat semata dalam hati tanpa di ucapkan, tidak terhitung talak.
Berkata Asy-Syaikh Al-Allamah Shalih Al-Fauzan hafidzahullah : “Tidak jatuh
talak darinya dan tidak juga dari yang mewakilinya kecuali dengan di ucapakan
dengannya, walaupun meniatkan dalam hatinya; tidak jatuh talak. Sampai lisannya
bergerak mengucapkannya. Berdasarkan hadits Rasulullah shallallahu ‘alihi
wasallam:
إِنَّ اللَّهَ
تَجَاوَزَ عَنْ أُمَّتِي مَا حَدَّثَتْ بِهِ أَنْفُسَهَا مَا لَمْ تَعْمَلْ ، أَوْ
تَتَكَلَّمْ
“Sesunggunya Allah memaafkan dari
ummatku apa yang dikatakan (terbesik) oleh jiwanya selama tidak di lakukan dan
di ucapkan.” (HR. al-Bukhari : 5269 dan Muslim : 127) (Mulakhos
Al-Fiqhy : 414)
5. Tentang Yang Berwenang Menjatuhkan Talak
Talak sah jika dari suami yang baligh,
berakal, mumayyiz yang mengerti dengan apa yang dipilih, atau orang yang
mewakilinya. Talak tidak jatuh (tidak sah) dari selain suami, anak kecil,
orang gila, orang mabuk, orang yang dipaksa, dan orang yang dalam keadaan marah
yang sangat sehingga menutup akalnya dan tidak sadar dengan apa yang di
ucapkannya.”(Fiqih Muyyasar : 305)
Diantara dalilnya
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلاَثَةٍ
عَنِ النَّائِمِ حَتَّى يَسْتَيْقِظَ وَعَنِ الصَّبِىِّ حَتَّى يَحْتَلِمَ وَعَنِ
الْمَجْنُونِ حَتَّى يَعْقِلَ
“Diangkat pena dari tiga orang, dari
orang yang tidur sampai dia bangun, dari anak kecil sampai dia baligh, dari
orang gila sampai dia berakal” (HR. Abu Dawud:4450,
at-Tirmidzi:1423 dan Ibnu Majjah:2041)
6. Apakah talak jatuh jika diucapkan dengan bercanda
Seseorang yang
mengatakan kepada istrinya dengan sekedar bercanda, “kamu saya talak” atau
“kamu saya cerai” maka jatuh talaknya. Dia terhitung telah menjatuhkan talak
kepada istrinya walaupun dia hanya bercanda/bersendau gurau. Hal ini
berdasarkan sebuah hadits. Dari Abu Hurairah rdhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah
shallallahu ‘alihi wasallam bersabda:
ثَلاَثٌ جِدُّهُنَّ جِدٌّ
وَهَزْلُهُنَّ جِدٌّ النِّكَاحُ وَالطَّلاَقُ وَالرَّجْعَةُ
“Tiga perkara
yang sungguhnya mereka dianggap sebagai kesungguhan dan yang bercandanya
dianggap sebagai sungguhan, nikah, talak dan rujuk” (HR. Abu Dawud
2129, at-Tirmidzi : 1184 dan Ibnu Majjah : 2039 dan dihasankan oleh syaikh
al-Albani di Irwa’ : 1826)
7. Tentang Lafadz-lafadz talak
Talak bisa jatuh
dengan setiap lafadz yang menunjukkan kepadanya yaitu :
1.
Lafadz yang
sharih, yaitu lafadz yang tidak dipahami darinya selain
dari talak. Seperti lafadz talak (cerai) atau pecahan dari kata itu atau yang
semisalnya. Seperti suami yang mengatakan kepada istrinya kamu saya cerai.
2.
Dengan kinayah
(kiasan) lafadz yang mengandung makna talak dan makna
yang lainnya, jatuh sebagai talak jika di niatkan sebagai
talak, atau adanya qarinah (indikasi) yang menunjukkan pada maksud tersebut.
Seperti suami mengatakan kepada istrinya pergi sana atau kembali sana kepada
keluargamu.”(silahkan lihat Minhajus Saalikiin, Syaikh As-Sa’di :274,
Mulakhos Al-Fiqhy, Syaikh Shalih Al-Fauzan : 413, Fiqih Muyyasar).
8. Tentang Talak di tinjau dari Ta’liq dan Tanjiz
Talak bisa jatuh dengan munjazah
(langsung) atau mu’alaqah (terikat dengan syarat).
Al-Munjazah : yaitu talak
yang sejak dikeluarkan perkataan tersebut bermaksud untuk menalak, sehinga
seketika itu jatuhlah talak. Seperti perkataan “kamu saya talak (cerai)”
Mu’allaqah: yaitu seseorang
suami menjadikan jatuh talak tergantung pada syarat. Seperti perkataan suami
kalau kamu tetap pergi ketempat itu kamu tertalak.
Tentang apakah talak jatuh jika dengan
tulisan
Tulisan adalah sarana untuk
mengungkapkan/menerangkan apa yang ada didalam hati sebagaimana
diungkapkan/diucapkan dengan lisan. Maka talak dianggap jatuh (sah/terhitung)
dengan tulisan walaupun dilakukan oleh orang yang bisa berbicara, ini
pendapatnya jumhur (mayoritas) ulama. Tertulis dalam kitab Muhalla Ibnu Hazm
perkataan: “Sungguh manusia berselisih pada permasalahan ini; telah
diriwayatkan kepada kami dari an-Nakha’i, as-Sa’bi’ dan az-Zuhri apabila
seorang menulis talak dengan tangannya maka talak sebuah keharusan (jatuh),
dengannya al-Auza’i, Hasan bin Hay dan Ahmad bin Hambal berpendapat.” (al-Muhalla
: 11/514) begitu juga yang difatwakan oleh Ibnu Baaz.
9. Tentang seseorang yang Ragu-ragu apakah dirinya sudah menalak istrinya
Berkata Asy-Syaikh al-Allamah Shalih
Al-Fauzan : “apabila ragu-ragu akan jatuhnya talak, dan yang di inginkan dari
ragu-ragu apakah terjadi talak darinya, atau ragu-ragu bilangan talak, atau
ragu-ragu apakah telah terjadi syaratnya :
·
Apabila ragu-ragu telah jatuh talak darinya, maka
istrinya tidaklah tertalak hanya semata-mata ragu-ragu. Dikarenakan
pernikahannya dibangun diatas keyakinan dan tidak bisa gugur hanya karena
ragu-ragu.
·
Apabila ragu-ragu terjadinya syarat yang dia syaratkan
dalam talaknya seperti dia berkata, “Apabila kamu masuk rumah maka kamu saya
talak (cerai).” Kemudian ragu-ragu tentang masuknya istri ke rumah.
Sesungguhnya dia tidak tertalak hanya karena ragu-ragu sebagaimana penjelasan
yang lalu.
·
Apabila yakin terjadinya talak darinya dan ragu-ragu
tentang bilangannya tidaklah jatuh kecuali satu dikarenakan dia yakin
terjadinya talak, adapun lebih dari itu dia ragu-ragu. Dan keyakinan tidak
dapat dihilangkan dengan keraguan. (Mulakhos Al-Fiqhy, Syaikh Shalih
Al-Fauzan : 413).
10. Tentang talak sunnah dan talak bid’ah
1.
Pengertian
talak sunnah dan talak bid’ah
Talak
sunnah adalah talak yang terjadi sesuai dengan syar’i. Yaitu seorang
suami menceraikan istrinya dengan ucapan satu kali talak dalam keadaan suci
yang pada saat suci sang suami belum mencampurinya, dan membiarkannya serta
tidak mengikuti dengan talak yang berikutnya sampai habis masa iddahnya.
Talak
bid’ah adalah talak yang dijatuhkan oleh pelakunya dalam bentuk yang
haram. Seperti mengucapkan talak tiga dengan satu kali ucapan (lafadz). Atau
mentalak istrinya dalam keadaan haid atau mentalak istrinya dalam keadaan suci
namun setelah digauli yang tidak diketahui hamil tidaknya. Hukum talak seperti
ini haram. (Fiqih Muyyasar : 305, Mulakhos Al-Fiqhy : 413).
2.
Hukum
talak sunnah dan talak bid’ah
Hukum talak sunnah : Para
ulama sepakat bahwa talak sunnah jatuh sebagai talak.
Hukum talak bid’ah : diharamkan
atas suami untuk mentalak dengan talak bid’ah, baik pada jumlah bilangan
(sekaligus tiga –ed) atau pada waktu (ketika haid –ed). Adapun dari sisi jatuh
tidaknya talak, maka jatuh talaknya dikarenakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam memerintahkan Ibnu Umar yang menalak istrinya ketika haid untuk
merujuknya. tidaklah rujuk kecuali setelah terjadinya talak. (Silahkan
lihat Fiqih Muyyasar : 305)
11. Tentang Talak Raj’i dan Talak Ba’in
Seorang suami yang merdeka mempunyai
kesempatan untuk menalak istri yang telah digaulinya sebanyak tiga kali. Para
ulama sepakat bahwa talak itu ada dua macam
1.
Talak Raj’i
Talak raj’i adalah talak yang setelah
dijatuhkan sang suami masih mempunyai hak untuk merujuk kembali istrinya selama
dalam masa iddah, tanpa tergantung persetujuan istrinya dan tanpa
akad yang baru. Yaitu talak pertama dan kedua yang sang suami mempunyai hak untuk
rujuk pada masa iddah kapan saja dia mau walaupun istri tidak rela dirujuk.
2.
Talak bain
Talak bain ada dua macam :
Pertama : Talak ba’inunah
shugra (perpisahan yang kecil) adalah talak yang setelah dijatuhkan oleh suami
tidak memiliki peluang untuk rujuk kembali kepada istrinya. Jika ingin kembali
dengan akad nikah yang baru dan tidak harus dinikahi dulu oleh laki-laki lain.
Yaitu terjadi ketika masa iddah istri dalam talak raj’i (talak satu dan dua)
telah selesai, dan sang suami belum merujuknya. Atau contoh yang lain yaitu
talak yang dijatuhkan kepada istri yang belum pernah digauli (berhubungan suami
istri) maka hukum perceraiannya adalah ba’inunah sughra. Tidak halal bagi suami
untuk merujuknya, jika ingin kembali kepada istrinya itu (mantan istri -ed)
atas persetujuan istri dan dengan akad nikah yang baru. Karena hak rujuk ada
pada masa iddah sedangkan kondisi seperti ini tidak ada masa iddahnya.
Kedua : Talak ba’inunah
kubra (perpisahan yang besar) adalah talak yang setelah dijatuhkan oleh suami
tidak ada kesempatan/peluang untuk rujuk (kembali) kepada istrinya. Jika ingin
kembali atas persetujuan istri (baca mantan istri -ed) dan dengan akad nikah
yang baru. dan setelah mantan istrinya menikah dengan laki-laki lain dan telah
melakukan hubungan suami istri (jima’), lalu mantan istrinya itu dicerai atau
suaminya meninggal dan masa iddahnya telah selesai.
Contoh talak tiga, seorang suami
menalak istrinya, kemudian merujuknya dalam masa iddah atau menikahinya setelah
habis masa iddahnya. Lalu menalak lagi, kemudian merujuknya dalam masa iddah
atau menikahinya setelah habis masa iddahnya, lalu dia menalaknya lagi yang
ketiga kalinya. Inilah talak ba’inah Qubra yang menjadikan istrinya tidak bisa
dirujuk lagi.
C. IDDAH
1) Pengertian iddah
Iddah adalah sebuah
nama untuk jangka waktu tertentu seorang istri menunggu setelah dicerai
oleh suaminya, atau ditinggal mati oleh suaminya atau untuk memastikan
kosongnya rahim.
2)
Dalil disyariatkanya iddah
Dalil dari
Al-Qur’an
Allah Ta’aala
berfirman :
وَالمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ
بِأَنفُسِهِنَّ ثَلاثَةَ قُرُوءٍ
“Wanita-wanita yang ditalak
handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru’” (Qs. Al-Baqarah
:228)
Dalil dari Sunnah
عَنِ
الْمِسْوَرِ بْنِ مَخْرَمَةَ أَنَّ سُبَيْعَةَ الأَسْلَمِيَّةَ نُفِسَتْ بَعْدَ
وَفَاةِ زَوْجِهَا بِلَيَالٍ فَجَاءَتِ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم
فَاسْتَأْذَنَتْهُ أَنْ تَنْكِحَ فَأَذِنَ لَهَا فَنَكَحَتْ
Dari Miswar bin Makhramah, bahwasannya
Subai’ah Al-Aslamiyyah radhiyallahu ‘anha mengalami nifas setelah di tinggal
wafat oleh suaminya beberapa hari, maka dia datang kepada Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam untuk minta ijin menikah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam mengijinkannya. Maka menikahlah dia.” (HR. Bukahari : 5320)
3) Hikmah di Syariatkan iddah
Banyak hikmah
disyariatkannya iddah, diantaranya:
-
Untuk memastikan kosongnya rahim dari janin, sehingga tidak tercampurnya
nasab
-
Untuk memberikan waktu bagi suami yang mencerai istrinya untuk rujuk apabila
Dia menyesal jika pada talak raj’i
- Menjaga hak seorang wanita/istri
yang hamil apabila terjadi talak pada saat hamil.
-
Untuk memperlihatkan betapa besarnya dan terhormatnya permasalahan
pernikahan dan memberikan pemahaman bahwa akad nikah
mengungguli akad-
akad yang lainnya.
- Memperlihatkan rasa sedih karena baru
ditinggal mati suami. Jadi kalau wanita
menahan diri untuk tidak berdandan,
hal itu membuktikan kesetiaannya kepada
suaminya yang telah meninggal. (silahkan lihat
Mulakhos Fiqhiy, Syaikh Al-
Fauzan : 419- 420, Fiqih
Muyasar : 317)
4) Macam-macam iddah
1.
Iddah dengan quru’
2.
Iddah dengan beberapa bulan
3.
Iddah dengan melahirkan
1. Iddah dengan quru’ dalilnya Firman Allah Ta’aala
وَالمُطَلَّقَاتُ
يَتَرَبَّصْنَ بِأَنفُسِهِنَّ ثَلاثَةَ قُرُوءٍ
“Wanita-wanita
yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali
quru’” (Qs. Al-Baqarah
:228)
Para ulama
berselisih pendapat tentang makna quru’.
Pendapat pertama: Quru’
adalah haidh ini pendapatnya para ulama dari kalangan madzhab Hanafi, dan para
ulama dari kalangan madzhab Hanbali dalam satu riwayat.
Pendapat kedua: yang
dimaksud quru’ adalah suci, bukan haidh. Ini pendapatnya para ulama dari
kalangan madhzab Maliki, madzhab syafi’i dan madzhab Hanbali dalam riwayat yang
lain.
Wallahu ta’aala
a’lam bis shawwab adapun kami cenderung dengan pendapat yang pertama yang
memaknai quru’ dengan haidh. Jadi macam iddah yang pertama dengan tiga kali
haid.
2. Iddahnya dengan beberapa bulan
Dalilnya, firman
Allah Ta’aala:
وَاللائِي يَئِسْنَ مِنَ المَحِيضِ مِنْ نِسَائِكُمْ إِنِ
ارْتَبْتُمْ فَعِدَّتُهُنَّ ثَلاثَةُ أَشْهُرٍ وَاللائِي لَمْ يَحِضْنَ
“dan perempuan-perempuan yang tidak
haid lagi (monopause) di antara perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu
(tentang masa iddahnya), Maka masa iddah mereka adalah tiga bulan; dan begitu
(pula) perempuan-perempuan yang tidak haid.”(Qs. Ath-Thalaq : 4)
Pada ayat ini
memberlakukan iddah selama tiga bulan pada
dua jenis wanita :
1. Wanita yang
sudah memasuki usia menopause (tidak haid lagi)
2. Wanita yang belum
pernah haidh karena masih kecil
3. Iddahnya dengan melahirkan
Masa iddah wanita yang hamil itu
berakhir dengan melahirkan, sekalipun itu berlangsung hanya sebentar setelah
perceraian. Dan hal ini berlaku bagi wanita yang ditinggal mati oleh suaminya
atau diceraikan. Tetapi bagi selain wanita hamil yang ditinggal mati oleh
suaminya masa iddahnya empat bulan sepuluh hari
Sumber bacaan
Minhajus Saalikiin
Syaikh ‘Aburrahman As-Sa’di
Mulakhos Al-Fiqhy
Syaikh Shalih Al-Fauzan
Fiqih Muyyasar
kumpulan para ulama
Dan yang lainnya
5) Macam-macam masa Iddah
Ikatan
pernikahan antara suami-istri dinyatakan habis baik di waktu hidupnya (yakni
bercerai) maupun meninggal salah satu diantara keduanya. Disetiap keadaan ini
terdapat kewajiban masa iddah yaitu waktu terbatas (menunggu untuk menikah
lagi) secara syar’i.
Didalam masa
iddah terdapat hikmah diantaranya diharamkan merobohkan nilai pernikahan yang
telah sempurna, untuk mengetahui (apakah ada) tanda-tanda kehamilan didalam
rahim, agar tidak menyetubuhinya kecuali memisahkan darinya, masa menunggu dan
memutuskan keturunan (dari suami sebelumnya).
Hikmah yang
lain adalah memuliakan ikatan pernikahan yang lalu, menghormati hak suami yang
telah bercerai dan menampakkan kepada masyarakat bahwa ia telah bercerai.
Masa iddah ini
terbagi atas 4 macam, yaitu :
1. Iddah masa kehamilan, yaitu waktunya sampai masa kelahiran kandungan yang dikarenakan thalaq ba’in (perceraian yang mengakibatkan tidak kembali kepada suaminya) atau talaq raj’i (perceraian yang dapat kembali kepada suaminya) dalam keadaan hidup atau wafat. Firman Alloh ‘azza wa jalla :
“Dan perempuan-perempuan yang hamil,
waktu iddah mereka adalah sampai mereka melahirkan.” QS. Ath-Thalaq ; 4
2. Iddah muthlaqah (masa perceraian), yaitu masa iddah yang terhitung masa haidh, maka wanita menunggu tiga quru’ (masa suci), sebagaimana firman Alloh ‘azza wa jalla :
“Wanita-wanita yang ditalak hendaklah
menahan diri (menunggu) tiga kali quru’.” QS. Al-Baqarah ; 228, Yaitu 3 kali
masa haidh.
3. Perempuan yang tidak terkena haidh, yakni ada dua jenis perempuan yaitu perempuan usia dini yang tidak/belum terkena haidh dan perempuan usia tua yang telah berhenti masa haidhnya (menopause), seperti dijelaskan Alloh ‘azza wa jalla tentang masa iddah dua jenis perempuan ini
“Dan perempuan-perempuan yang tidak
haidh lagi (menopause) di antara perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu
(tentang masa iddahnya) maka iddah mereka adalah tiga bulan dan
begitu (pula) perempuan-perempuan yang tidak haidh.” QS. At-Thalaq ; 4
4. Istri yang ditinggal suaminya karena wafat, Alloh menjelaskan masa iddahnya sebagai
berikut:
“Orang-orang
yang meninggal dunia diantaramu dengan meninggalkan istri-istri (hendaklah para
istri itu) menangguhkan dirinya (beriddah) empat bulan sepuluh
hari.” QS. Al-Baqarah ; 234
Ayat ini mencakup wanita yang telah disetubuhi maupun yang belum
disetubuhi, usia muda maupun usia tua dan TIDAK TERMASUK WANITA HAMIL. Karena masa iddah bagi wanita hamil apabila
mereka sampai melahirkan, seperti yang telah dijelaskan diatas.
Demikian yang kami nukil dari kitab Al-Hadyu An-Nabawi karya
Ibnul Qoyyim (5/594-595 ; cetakan Al-Muhaqqaqah)
‘IDDAH ISTRI YANG DITALAK
Saya
memohon penjelasan tentang iddah istri yang ditalak. Apakah istri yang ditalak
dengan talak raj’i1 tetap tinggal di rumah suaminya atau ia pergi ke rumah
orangtuanya sampai suaminya merujuknya?
Jawab:
Fadhilatusy Syaikh
Muhammad ibnu Shalih Al-Utsaimin Rahimahullah menjawab, “Wajib bagi
istri yang ditalak raj’i untuk tetap tinggal di rumah suaminya dan haram bagi
si suami mengeluarkan istrinya dari rumahnya, berdasarkan firman Allah
Ta’ala:
“Janganlah kalian (para suami)
mengeluarkan mereka (para istri yang ditalak raj’i) dari rumah-rumah mereka dan
jangan pula mereka (diperkenankan) keluar, terkecuali bila mereka melakukan
perbuatan keji yang nyata. Itulah hukum-hukum Allah dan siapa yang melanggar
hukum-hukum Allah maka sungguh ia telah berbuat zalim terhadap dirinya
sendiri.” (Ath-Thalaq: 1)
Adapun
sikap orang-orang pada hari ini di mana seorang istri bila ditalak dengan talak
raj’i, dengan segera ia pulang ke rumah keluarga (orangtua)nya, hal ini jelas
merupakan kesalahan dan perbuatan yang diharamkan. Karena AllahTa’ala
berfirman:
“Janganlah kalian
mengeluarkan mereka.” AllahTa’ala juga mengatakan: “Dan jangan pula mereka
(diperkenankan) keluar.” (Ath-Thalaq: 1)
Allah Ta’ala tidak
mengecualikan larangan di atas, terkecuali bila mereka (para istri yang
ditalak) melakukan perbuatan keji yang nyata. Setelah itu Allah Ta’ala berfirman:
“Itulah
hukum-hukum Allah dan siapa yang melanggar hukum-hukum Allah maka sungguh ia
telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri.” (Ath-Thalaq: 1)
Lalu Allah
Ta’ala menerangkan hikmah dari kewajiban si istri tetap tinggal di rumah
suaminya dengan firman-Nya:
“Engkau tidak
mengetahui barangkali Allah mengadakan sesudah itu suatu perkara.” (Ath-Thalaq:
1)
Maka sudah
sewajibnya bagi kaum muslimin untuk menaruh perhatian terhadap hukum-hukum
Allah Ta’ala dan berpegang dengan apa yang Allah Ta’ala perintahkan kepada
mereka. Janganlah mereka menjadikan adat /kebiasaan sebagai jalan untuk
menyelisihi hal-hal yang disyariatkan. Yang penting, wajib bagi si wanita untuk
memerhatikan masalah ini. Istri yang ditalak dengan talak raj’i wajib tetap
tinggal di rumah suaminya hingga selesai iddahnya. Dalam keadaan/masa iddah
tersebut si istri boleh membuka wajah/tidak berhijab di hadapan suami yang
mentalaknya, tetap berhias dan mempercantik diri di depan suaminya, tetap
memakai wangi-wangian, mengajak bicara suaminya dan suaminya berbicara
dengannya. Boleh pula dia duduk-duduk bersama suaminya dan melakukan segala
sesuatu terkecuali istimta’ (bernikmat-nikmat) dengan jima’ (senggama) atau
mubasyarah (bersentuhan/bermesraan yang tidak sampai pada jima’).
Karena istimta’
dengan jima atau mubasyarah hanya dilakukan ketika rujuk.
Si suami
boleh merujuk istrinya (dalam masa iddah tersebut) dengan ucapan, ia katakan,
“Aku telah merujuk istriku.” Sebagaimana ia boleh merujuk istrinya dengan
perbuatan, dengan menggaulinya disertai niat rujuk.
Adapun tentang
‘iddah istri yang ditalak, kita katakan: Bila istri itu ditalak sebelum si
suami dukhul dan khalwat yakni sebelum melakukan jima’, sebelum si suami
berdua-duaan dengannya dan mubasyarah dengannya, maka sama sekali tidak ada
iddah bagi si wanita. Dengan demikian, semata-mata talak dan ia pisah dari
suaminya, berarti ia halal untuk dinikahi oleh lelaki lain.
Namun bila si
suami telah dukhul dengannya, berdua-duaan ataupun menggaulinya, maka wajib
bagi si istri untuk ber-’iddah. Tentang ‘iddahnya maka dilihat dari beberapa
hal berikut ini:
Pertama: Bila ia
dalam keadaan hamil maka ‘iddahnya sampai ia melahirkan kandungannya, baik
waktunya panjang ataupun pendek. Bisa jadi, si suami mentalaknya pada waktu
pagi dan sebelum dhuhur ternyata ia telah melahirkan kandungannya, yang berarti
berakhir iddahnya. Bisa pula terjadi si suami mentalaknya pada bulan Muharram
dan ia belum juga melahirkan kandungannya sampai tiba bulan Dzulhijjah hingga
ia beriddah selama 12 bulan. Yang penting, istri yang hamil itu iddahnya dengan
melahirkan kandungannya secara mutlak (tanpa melihat panjang pendeknya masa
yang dijalani). Ini berdasarkan firman Allah l:
“Dan istri-istri
yang sedang mengandung berakhir iddah mereka dengan melahirkan kandungan
mereka.” (Ath-Thalaq: 4)
Kedua: Si istri
yang ditalak tidak dalam keadaan hamil dan ia masih mengalami haid (belum
menopause), maka iddahnya tiga kali haid yang sempurna setelah ia ditalak.
Dengan makna, ia ditimpa haid lalu suci, beberapa waktu kemudian ia haid lagi
lalu suci, dan waktu berikutnya (kali yang ketiga) ia haid lagi dan suci.
Inilah tiga haid yang sempurna, sama saja apakah masanya panjang di antara
ketiga haid tersebut atau tidak panjang. Berdasarkan hal ini, bila si suami
mentalaknya dalam kondisi ia masih dalam masa menyusui bayi/anaknya dan ia
tidak mengalami haid terkecuali setelah lewat dua tahun2 maka ia terus dalam
masa ‘iddah sampai datang haid padanya sebanyak tiga kali sehingga ia menjalani
masa iddah selama dua tahun atau lebih. Yang penting, wanita yang masih haid
berarti iddahnya tiga kali haid yang sempurna, sama saja apakah masanya panjang
ataulah pendek. Ini berdasarkan firman Allah l:
“Dan istri-istri
yang ditalak hendaknya menahan diri mereka (menjalani iddah) selama tiga quru3.”
(Al-Baqarah: 228)
Ketiga: Si wanita
tidak mengalami haid, bisa jadi karena usianya yang masih kecil sehingga haid
belum menimpanya, atau karena sudah tua, telah mengalami menopause, maka
iddahnya tiga bulan. Ini berdasarkan firman Allah l:
“Dan wanita-wanita
yang tidak haid lagi (menopause) dari istri-istri kalian (yang kalian talak),
jika kalian ragu tentang masa iddahnya, maka iddah mereka tiga bulan, demikian
pula wanita-wanita yang belum mengalami haid.” (Ath-Thalaq: 4)
Keempat: Bila si
wanita tidak lagi mengalami haid karena suatu sebab yang diketahui bahwa
haidnya tidak akan kembali padanya (maksudnya ia tidak akan mengalami haid lagi
selama-lamanya) seperti rahimnya telah diangkat, maka wanita yang seperti ini
disamakan dengan wanita yang menopause. Ia beriddah selama tiga bulan.
Kelima: Bila si
wanita tidak mengalami haid dalam keadaan ia tahu apa yang menyebabkan haidnya
tertahan, maka ia menanti sampai hilang penyebab yang menahan haidnya dan
menanti haidnya kembali lagi. Lalu ia menghitung iddahnya dengan haid tersebut.
Keenam: Bila si
wanita tidak mengalami haid dan ia tidak tahu apa penyebabnya maka para ulama
mengatakan si wanita beriddah selama setahun penuh. Dengan perincian, sembilan
bulan untuk masa kehamilan dan tiga bulan untuk iddah.
Demikianlah
pembagian iddah istri yang ditalak.
Adapun wanita yang
pernikahannya fasakh/dibatalkan dengan cara khulu’4 atau selainnya, maka cukup
baginya menahan diri selama satu kali haid. Bila seorang istri meminta khulu’
kepada suaminya dengan ia atau walinya memberikan ‘iwadh kepada si suami agar
si suami mau melepaskannya dari ikatan pernikahan, kemudian si suami meluluskan
permintaan tersebut dengan mengambil ‘iwadh yang diberikan, maka cukup setelah
perpisahan itu si istri menahan diri selama satu kali haid.
Allah llah yang
memberi taufik. (Fatawa Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, 2/797,
sebagaimana dinukil dalam Fatawa Al-Mar’ah Al-Muslimah fil ‘Aqa’id wal Ibadat
wal Mu’amalat wal Adab, hal. 1028-1030)
5.
Talak yang bisa dirujuk dalam masa
‘iddah, yaitu talak satu dan dua.
6.
Karena biasanya ibu yang sedang
menyusui tertahan haidnya.
7.
Tentang quru ini ulama berbeda
pendapat. Ada yang mengatakan haid dan ada pula yang mengatakan maknanya suci
dari haid.
8.
Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani t
dalam Fathul Bari menyatakan bahwa khulu’ adalah seorang suami melepaskan
istrinya dari ikatan pernikahan, dengan cara si istri memberikan iwadh/sejumlah
harta untuk menebus dirinya kepada suaminya.
Penjelasan Sederhana Tentang Talak (perceraian), Rujuk dan Iddah
Al-Ustadz
Abu Ibrahim ‘Abdullah al-Jakarty
Diantara
perkara yang penting untuk diketahui adalah permasalahan talak, oleh karena itu
pada kesempatan ini kami bawakan sedikit penjelasan seputar talak yang di
rangkum dari beberapa kitab fiqih dengan harapan semoga bermanfaat bagi diri
penulis pribadi dan kaum muslimin.
D. RUJUK
1. Pengertian Rujuk
Rujuk adalah
mengembalikan istrinya yang tertalak yang bukan pada talak bain kepada keadaan
sebelum terjadinya talak tanpa adanya akad.
2.
Dalil dari Al-Qur’an,
As-Sunnah dan Ijma disyariatkan rujuk
Dari Al-Qur’an
أَحَقُّ بِرَدِّهِنَّ فِي ذَلِكَ
إِنْ أَرَادُوا إِصْلاحًا
“…dan suami-suaminya berhak
merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) menghendaki
ishlah.” (Qs. Al-Baqarah : 228)
Nabi shallallahu
‘alaihi wasalam bersabda :
مره فيراجعها ثم ليطلقها طاهرا أو
حاملا
“Suruh dia merujuk kembali istrinya,
kemudian silahkan dia menalaknya dalam keaadaan suci atau sedang hamil.” (HR.
Tirmidzi, dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani)
·
Ijma
Berkata Asy-Syaikh al-Allamah Shalih
Al-Fauzan hafidzahullah : berkata Ibnul Mundzir“Para ulama sepakat bahwa
seorang suami yang merdeka apabila mentalak yang bukan talak tiga dan seorang
budak apabila mentalak yang bukan talak dua maka baginya ada hak untuk rujuk
pada masa iddah.” (Al-Mulskhos Al-Fiqhiy : 416)
3.
Talak yang bisa dirujuk dan
beberapa macam keadaan wanita yang tertalak
·
Talak yang ada kesempatan seorang suami untuk rujuk
adalah talak kepada istri yang sudah pernah digauli pada talak pertama atau
kedua dalam masa iddah. Adapun talak ketiga tidak ada kesempatan
seorang suami untuk rujuk begitu juga istri yang tertalak dalam keadaan belum
pernah digauli.
·
Wanita yang tertalak pada talak pertama dan kedua
statusnya masih sebagai istrinya yang sah selama dalam masa iddah.
Dia masih berhak menerima nafkah, tempat tinggal dan dia harus berada pada
rumah suaminya. Begitu juga haram hukumnya seorang istri yang tertalak dengan
talak pertama atau kedua menawar-nawarkan dirinya untuk dinikai oleh orang lain
dalam masa iddahnya, karena statusnya masih istri dari suaminya.
4. Tata cara rujuk
Rujuk adalah hak mutlak suami di masa
iddah wanita yang ditalak raj’i. Hak mutlak ini tanpa ada syarat kerelaan
istri. Tatacara merujuk harus sesuai syar’i:
1.
Niat untuk
merujuk istrinya dalam rangka untuk memperbaiki kembali hubungan yang retak.
2.
Prosesnya
- Dengan ucapan, yaitu setiap
lafadz yang menunjukkan makna rujuk disertai niat.
- Menggauli istrinya disertai
niat rujuk menurut pendapat yang benar. Oleh karena
itu seorang suami yang menalak istrinya dengan talak raj’i tidak
boleh
menggaulinya tanpa niat rujuk.
5.
Mempersaksiakan talak dan
rujuk
·
Disyariatkan mempersaksiakan talak yang dijatuhkan
kepada dua saksi pria yang adil; istiqamah (tidak fasik). Adapun tentang
hukumnya para ulama berselisih pendapat, ada pendapat ulama yang mengatakan
hukumnya wajib, dan ada pendapat yang mengatakan hukumnya sunnah dan ini
pendapatnya jumhur. Yang jelas mempersaksikan talak dapat dilakukan saat
menjatuhkan talak atau disusulkan setelah talak jatuh.
Latihan Soal
Pilihlah jawaban yang paling benar dan
tepat!
1.
Secara bahasa nikah mengandung
arti :
a.
Kembali.
b.
Berdiri
c.
Bergabung.
d.
Putus.
e.
Mendekatkan diri.
2.
Salah satu dasar
disyariatkannya nikah/tajawwuz adalah ….
a.
Al-Baqarah, ayat
103. d. Al-Nahr, ayat
2.
b.
Al-Shaffat, ayat
102-107. e. Al-Maidah, ayat 27.
c.
Al-A’raf, ayat 189.
3.
Menurut hadits
yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, bahwa hukum asal menikah adalah
a.
Wajib c.
Sunnah e. Subhat
b.
Makruh d.
Haram
4.
Alasan seseorang wajib untuk
nikah adalah ….
a.
Mampu melaksanakan pernikahan dan
jika tidak ia akan terjerumus.
b.
Tidak mampu melaksanakan atau
alasan lain.
c.
Menikah dengan niat untuk
menyakiti isterinya.
d.
Tidak terdesak oleh hal-hal yang
mengharuskannya untuk menikah.
e.
Yang
berniat dan mampu membiayai nafkah dan keperluan lainnya
5.
Salah satu rukun
nikah adalah ….
a.
Kedua calon
jelas identitasnya.
b.
Keduanya
sama-sama islam.
c.
Di antara
keduanya tidak dilarang menikah.
d.
Kedua belah
pihak setuju melangsungkan pernikahan.
e.
Adanya wali
nikah dari pihak perempuan.
6.
Yang bukan
termasuk syarat ijab kabul adalah ….
a.
Dimulai dengan
akad dan dilanjutkan dengan qabul.
b.
Materi ijab
qabul harus sama.
c.
Diucapkan secara
bersambung.
d.
Lafznya jelas
dan terus terang.
e.
Dengan isyarat.
7.
Yang dimaksud
wali hakim adalah ….
a.
Wakil kedua
mempelai.
b.
Wakil salah satu
mempelai jika salah satunya tidak punya wali.
c.
Wakil mempelai
wanita, karena tidak punya wali nikah.
d.
Wakil mempelai
pria.
e.
Wakil mempelai
wanita.
8.
Dalam UU
Perkawinan di Indonesia, tidak disebutkan adanya wali, yang disebutkan ….
a.
Naib.
b.
Orang tua.
c.
Orang lain.
d.
Penghulu.
e.
Wali hakim.
9.
Dalam UU
Perkawinan RI tidak mengatur saksi saat pernikahan. Saksi hanya dihadirkan pada
saat ….
a.
Ijab Kabul.
b.
Pembatalan
pernikahan.
c.
Resepsi nikah.
d.
Iddah.
e.
Rujuk.
10.
“Saya nikahkan
anak saya yang bernama Aisyah kepada Saudara Didin dengan maskawin seperangkat
alat shalat dibayar kontan.” Merupakan contoh lafaz ….
a.
Ijab
b.
Qabul
c.
Akad nikah
d.
Seserahan
e.
Khitbah
11.
Secara harfiah
talak artinya ….
a.
Melepaskan
b.
Menyatukan
c.
Kembali
d.
Tergadai.
e.
Tertolong.
12. Jumhur
ulama menyepakati hokum asal talak adalah
….
a.
Halal
b.
Makruh
c.
Haram
d.
Wajib
e.
Sunah
13.
Haram mencerai
isteri karena ….
a.
Isteri masih
dalam keadaan haid.
b.
Isteri sedang
masa dimadu
c.
Tidak ada alasan
apa-apa.
d.
Suami tidak
mencintai isterinya.
e.
Isterinya tidak
mencintai suaminya.
14.
Yang dimaksud
dengan ‘ila adalah ….
a.
Menikah sekedar
untuk tujuan suka-suka.
b.
Mengumpulkan
isteri satu rumah.
c.
Sumpah untuk
tidak menggauli isterinya.
d.
Acara keluarga
tahunan.
e.
Makan-makan.
15.
Talak dianggap syah
apabila ….
a.
Berniat tapi
belum dilaksanakan.
b.
Diucapakan saat
mabuk.
c.
Diucapkan oleh
anak kecil.
d.
Diucapkan pada
saat marah yang sangat sehingga menutup akal dan kesadarannya.
e.
Diucapkan dalam
candaan.
16.
Kinayah
talak artinya ….
a.
Ucapan yang
mengandung makna talak
b.
Ucapakan talak
saat mabuk.
c.
Ucapkan talak
oleh anak kecil.
d. Ucapkan
talak pada saat marah yang sangat sehingga menutup akal dan kesadarannya.
e.
Ucapkan talak
dengan candaan.
17.
Contoh talak sharih
adalah sebagai berikut ….
a.
Sejak kapan kamu
mulai berpaling hati?
b.
Pulanglah duluan!
c.
Aku cerai
engkau!
d.
Saya yang pergi
meninggalkan rumah atau kamu!
e.
Kamu seperti ibuku
bagiku.
18.
Talak munjazah
sama artinya dengan ….
a.
Talak zhihar
b.
Talak bersyarat
c.
Talak langsung
d.
Talak li’an
e.
Talak bi’an
19.
“Kalau kamu
masih seperti ini, maka lebih baik kita berpisah saja” disebut talak….
a.
Talak mutlak.
b.
Talak bersyarat
c.
Talak langsung
d.
Talak lian
e.
Talak bi’an
20.
Talak yang
dilakukan dengan cara yang haram disebut ….
a.
Talak sunnah.
b.
Talak bersyarat
c.
Talak langsung
d.
Talak bid’ah
e.
Talak bain.
21.
Talak yang setelah
dilakukan, sang suami boleh merujuk sang isteri kembali tanpa ada akad yang
baru disebut ….
a.
Talak sunnah.
b.
Talak raj’iy
c.
Talak bain.
d.
Talak bid’ah
e.
Talak bi’an.
22.
Talak yang
setelah dilakukan, sang suami tidak boleh
merujuk sang isteri kembali kecuali dengan akad nikah yang baru disebut
….
a.
Talak sunnah.
b.
Talak raj’iy
c.
Talak bain.
d.
Talak bid’ah
e.
Talak bi’an.
23.
Menurut tuntunan
al-Qur’an surat al-Talak ayat 1, bahwa isteri yang sudah ditalak raj’iy
sebaiknya ….
a.
Dipulangkan saja
ke orang tuanya sampai habis idahnya..
b.
Diambil separo
maharnya.
c.
Dipisah tempat
tidurnya sampai habis idahnya.
d.
Dibiayai
kebutuhan hidupnya, selama di pengasingan.
e.
Diabaikan
kebutuhannya.
24.
Yang dimaksud
dengan talak hanya boleh dua kali adalah….
a.
Setelah talak
boleh kembali lagi selama masa idahnya belum habis.
b.
Talak ada dua
jenis.
c.
Isteri boleh
kembali kepada mantan suaminya jika sudah habis masa idahnya.
d.
Jika masa iddah
telah habis, maka mantan isteri tidak boleh kembali lagi pada suaminya, kecuali
menikah lagi dengan yang lainnya.
e.
Batas maksimal
mantan suami boleh kembali lagi pada isterinya tanpa akad baru hanya dua kali.
25.
Secara harfiah
yang dimaksud dengan ‘iddah adalah….
a.
Kembali.
b.
Melepaskan.
c.
Jangka waktu.
d.
Berhubungan.
e.
Bersenang-senang.
26.
Masa ‘iddah
disebabkan oleh ….
a.
Karena ditinggal
tugas suami.
b.
Dicerai suami.
c.
Karena ditinggal
pergi suami.
d.
Datangnya masa
haid.
e.
Datangnya masa
suci.
27.
Dalil
disyariatkannya ‘iddah adalah ….
a.
Surat al-baqarah
ayat 108
b.
Surat al-baqarah
ayat 208
c.
Surat al-baqarah
ayat 228
d.
Surat al-baqarah
ayat 18
e.
Surat al-baqarah
ayat 200
28.
Hikmah ‘iddah
adalah ….
a.
‘Uqubah
b.
Istirahah
c.
Tarbiyah
d.
Tazkiyah
e.
Khidmah
29.
“Iddah quru’
adalah ….
a.
Masa menunggu
karena melahirkan
b.
Masa menunggu
selama tiga kali melahirkan
c.
Masa menunggu
selama tiga kali nifas
d.
Masa menunggu
selama tiga kali haid atau suci
e.
Masa menunggu
selama isteri menikah lagi dan dicerai suami lain.
30.
Masa “Iddah
wanita yang menopause adalah ….
a.
1 bulan
b.
2 bulan
c.
3 bulan
d.
4 bulan
e.
5 bulan
31.
Masa ‘iddah
wanita yang hamil adalah ….
a.
Sampai
melahirkan
b.
Selasai nifasnya
c.
3 kali haid
d.
4 bulan pertama
e.
3 bulan
32.
Hikmah masa
‘iddah diantaranya kecuali ….
a.
Menghargai nilai
pernikahan yang dibangun.
b.
Mengetahui
apakah ada tanda-tanda kehamilan.
c.
Memuliakan
ikatan pernikahan
d.
Menghormati hak
suami yg telah mencerai.
e.
Menampakan
kepada masyarakat bahwa ia telah menikah lagi.
33.
Rujuk artinya ….
a.
Datang
b.
Kembali
c.
Menunggu
d.
Bersama
e.
bersatu
34.
Talak yang tidak
ada lagi kesempatan suami untuk merujuknya lagi sebelum isterinya menikah lagi
dan digauli oleh suami lain adalah jenis talak ….
a.
Kesatu
b.
Kedua
c.
Ketiga
d.
Kesatu dan kedua
e.
Kesatu dan
ketiga
35.
Rujuk sah dengan
….
a.
Akad baru
b.
Tidak perlu
adanya akad lagi
c.
Ucapan yang
jelas yang menunjukan kembali lagi sebagai isterinya
d.
Isyarat
e.
Janji