JI’ALAH
A.
Definisi
Akad Ji’alah
Akad ji’alah,
ju’l atau ju’liyah secara bahasa dapat diartikan sebagai sesuatu
yang disiapkan untuk diberikan kepada seseorang yang berhasil melakukan
perbuatan tertentu, atau juga diartikan sebagai sesuatu yang diberikan
kepada sesorang karena telah melakukan pekerjaan tertentu. Dan menurut para
ahli hukum, akad ji’alah dapat dinamakan janji memberikan hadiah (bonus,
komisi atau upah tertentu), maka ji’alah adalah akad atau komitmen dengan
kehendak satu pihak. Sedangkan menurut syara’, akad ji’alah adalah
komitmen memberikan imbalan yang jelas atau suatu pekerjaan tertentu atau tidak
tertentu yang sulit diketahui. Ji’alah boleh juga diartikan sebagai
sesuatu yang mesti diartikan sebagai pengganti suatu pekerjaan dan padanya
terdapat suatu jaminan, meskipun jaminan itu tidak dinyatakan, ji’alah
dapat diartikan pula upah mencari benda-benda hilang.
Ji’alah secara etimologis yaitu
memberikan upah atau (ja’l) kepada orang yang telah melakukan pekerjaan
untuknya, misalnya orang mengembalikan hewan yang tersesat (dhalalah),
mengembalikan budak yang kabur, membangun tembok, mejahit pakaian, dan setiap
pekerjaan yang mendapatkan upah. Menurut Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah, ji’alah
adalah perjanjian imbalan tertentu dari pihak pertama kepada pihak kedua
atas pelaksanaan suatu tugas/pelayanan yang dilakukan oleh pihak kedua untuk
kepentingan pihak pertama.
Ulama
Malikiyah mendefinisikan akad ji’alah sebagai akad sewa atas manfaat
yang diduga dapat tercapai. Hal ini seperti perkataan seseorang, “Barang siapa
yang bisa mengembalikan binatang tunggangan saya yang kabur atau lari, atau
barang milik saya yang hilang, atau yang bisa mengurus kebun saya ini, atau
menggali sumur untuk saya hingga saya menemukan air, atau menjahit baju atau
kemeja untuk saya, maka dia akan mendapatkan sekian.
Di antara
contoh akad ji’alah adalah hadiah yang khusus diperuntukan bagi
orang-orang berprestasi, atau para pemenang dalam sebuah perlombaan yang
diperbolehkan atau bagian harta rampasan perang tertentu diberikan oleh
panglima perang kepada orang yang mampu menembus benteng musuh, atau dapat
menjatuhkan pesawat-pesawat.
Termasuk
didalam akad ji’alah juga, komitmen membayar sejumlah uang pada dokter
yang dapat menyembuhkan penyakit tertentu, atau pada guru yang bisa membimbing
anaknya menghapal Al-Qur’an. Para fuqaha biasa memberikan contoh untuk akad ini
dengan kasus orang yang dapat mengembalikan binatang tunggangan yang tersesat
atau hilang dan budak yang lari atau kabur.
B.
Landasan
Hukum Akad Ji’alah
Menurut
ulama Hanafiah, akad ji’alah tidak dibolehkan karena di dalanya terdapat
unsur penipuan (gharar), yaitu ketidakjelasan pekerjaan dan waktunya.
Hal ini diqiyaskan pada seluruh akad ijarah (sewa) yang disyaratkan
adanya kejelasan dalam pekerjaan,pekerja itu sendiri, upah dan waktunya. Akan
tetapi, mereka hanya membolehkan−dengan dalil istihsan−memberikan hadiah kepada
orang yang dapat mengembalikan budak yang lari atau kabur, dari jarak
perjalanan tiga hari atau lebih, walaupun tanpa syarat. Jumlah hadiah itu
sebesar empat puluh dirham untuk menutupi biaya selama perjalanan.
Jika dia
mengembalikan budak itu kurang dari jarak perjalanan tersebut, maka hadiah
disesuaikan dengan jarak perjalanan tersebut sesuai sedikit dan banyaknya
perjalanan. Misalnya, jika dia mengembalikan budak dalam jarak perjalanan dua
hari, maka dia mendapat upah dua pertiganya; dan bila mengembalikannya dalam
jarak perjalanan satu hari, maka dia mendapat upah sepertiganya. Barang siapa
yang dapat mengembalikannya kurang dari satu hari atau menemukannya di
daerahnya, maka dia mendapat upah disesuaikan dengan kadar pekerjaannya. Sebab,
untuk berhak mendapatkan upah adalah dapat mengembalikan budak kepada
pemiliknya. Dengan demikian, pemberian upah tersebut adalah sebuah cara bagi
pemiliknya untuk menjaga hartanya.
Sedangkan
menurut ulama Malikiyah, Syafi’iyah dan Hanabilah, akad ji’alah
dibolehkan dengan dalil firman Allah dalam kisah nabi Yusuf as. bersama
saudara-saudaranya.
“Mereka menjawab, ‘Kami kehilangan piala raja,
dan siapa yang dapat mengembalikannya akan memperoleh (bahan makanan seberat)
beban onta dan aku jamin itu.”(Yusuf: 72).
Juga
berdasarkan hadits yang menceritakan tentang orang yang mengambil upah atas
pengobatan dengan surah al-Fatihah, yang diriwayatkan oleh jamaah kecuali Imam
Nasa’i dari Abu Sa’id Al-Khudri. Diriwayatkan bahwa beberapa orang sahabat
Rasulullah sampai pada satu kampung badui tapi mereka tidak dijamu. Pada saat
demikian tiba-tiba kepala suku badui disengat kalajengking. Penduduk kampung
itu pun bertanya, “apakah di antara kalian ada yang bisa mengobati?”. Para
sahabat menjawab, “kalian belum menjamu kami. Kami tidak akan melakukannya
kecuali jika kalian memberi kami upah.”
Maka mereka
menyiapkan sekawanan domba. Lalu seorang sahabat membaca surah al-fatihah dan
mengumpulkan air ludahnya kemudian meludahkannya sehingga kepala suku itu pun
sembuh. Penduduk kampung itu pun lalu memberi domba yang dijanjikan kepada para
sahabat. Para sahabat itu berkata, “kami tidak akan mengambilnya hingga kami
tanyakan dahulu kepada Rasulullah.” Kemudian sahabat itu menanyakan hal
tersebut kepada rasulullah, maka beliau pun tertawa dan berkata,“tidakkah
kalian tahu? Surah al-fatihah itu adalah obat. Ambilah domba itu dan berikan
kepadaku satu bagian.”
Terdapat
dalil aqli (rasio) yang juga menguatkan dibolehkannya akad ji’alah,
yaitu kebutuhan masyarakat yang menuntut diadakannya akad ji’alah ini,
seperti untuk mengembalikan binatang yang hilang, budak yang lari atau kabur,
dan pekerjaan yang tidak bisa dilakukan sendiri. Maka boleh mengeluarkan upah
seperti akat ijarah dan muda>rabah, hanya saja pekerjaan dan
waktu yang belum jelas dalam ji’alah tidak merusak akad itu, berbeda
halnya dengan ijarah. Hal itu kareana akad ji’alah sifatnya tidak
mengikat, sedangkan akad ijarah mengikat dan memerlukan kepastian waktu
untuk mengetahui jumlah manfaat yang akan digunakan. Selain itu, karena akad ji’alah
adalah sebuah keringanan (rukhshah) berdasarkan kesepakatan ulama,
karena mengandung ketidakjelasan, dan dibolehkan karena ada izin dari
Allah.
Dari
pemaparan landasan hukum tentang ji’alah diatas dapat di ambil beberapa
poin penting, yaitu:
1.
Ji’alah adalah akad yang di perbolehkan.
Jadi kedua belah pihak diperbolehkan membatalkannya. Jika pembatalan terjadi
sebelum pekerjaan dimulai, maka pekerja tidak mendapatkan apa-apa. Jika
pembatalan terjadi di tengah-tengah proses pekerjaan, maka pekerja brhak
mendapatkan upah atas pekerjaan.
2.
Dalam ji’alah,
masa pengerjaan tidak disyaratkan diketahui. Jika seseorang berkata,
“Barangsiapa bisa menemukan untaku yang hilang, ia mendapatkan hadiah satu
dinar, “maka orang yang berhasil menemukannya berhak atas hadiah tersebut
kendati ia menemukannya setelah sebulan atau setahun.
3.
Jika
pengerjaan dilakukan sejumlah orang, hadiahnya dibagi secara merata antara
mereka.
4.
Ja’alah
tidak boleh pada hal-hal yang diharamkan. Jadi seseorang tidak boleh berkata,
“Barangsiapa menyanyi, atau memukul si Fulan, atau memakinya, ia mendapatkan
ja’alah (hadiah) sekian.”
5.
Barangsiapa
menemukan barang tercecer, atau barang hilang, atau menerjakan suatu pekerjaan
dan sebelumnya ia tidak mengetahui kalau di dalamnya terdapat ji’alah
(hadiah), ia tidak berhak atas ja’alah tersebut kendati ia telah menemukan
barang tercecer tersebut, karena perbuatannya itu ia lakukan secara sukarela
sejak awal. Jadi ia tidak berhak mendapatkan ja’alah tersebut kecuali jika ia
berhasil menemukan budak yang melarikan diri dari tuanya maka ia diberi ji’alah
sebagai balas budi atas perbuatannya tersebut.
6.
Jika
seseorang berkata, “Barangsiapa makan dan minum sesuatu yang dihalalkan,
ia berhak atas ji’alah (hadiah), “maka ji’alah seperti itu
diperbolehkan, kecuali jika ia berkata, “Barangsiapa makan dan ia meninggalkan
sebagian dari makanan tersebut, ia berhak atas ji’alah,” maka ji’alah
tidak sah.
7.
Jika pemilik
ja’alah dan pekerja tidak sependapat tentang besarnya ji’alah, maka
ucapan yang diterima ialah ucapan pemilik ja’alah dengan disuruh bersumpah.
Jika kedua berbeda pendapat tentang pokok ji’alah, maka ucapan
yang diterima ialah ucapan pekerja dengan disuruh bersumpah.
C. Rukun dan Syarat Ji’alah
Ada beberapa rukun dan syarat ji’alah
yaitu:
1.
Lafadh, hendaklah dipergunakan
lafadh yang jelas dan mengandung arti izin kepada yang akan bekerja dan juga
tidak ditentukan waktunya.
2.
Orang yang
menjanjikan upahnya, yang menjanjikan upah itu boleh juga orang yang lain yang
mendapat persetujuan dari orang yang kehilangan.
3.
Pekerjaan,
yaitu mencari barang yang hilang.
4.
Upah,
disyaratkan keadaan upah dengan barang/benda yang tertentu. Kalau yang
kehilangan itu berseru kepada umum: “Barangsiapa yang mendapat barang/bendaku,
akan saya beri uang sekian. Kemudian dua orang bekerja mencari barang itu,
sampai keduanya mendapatkan barang itu secara bersama-sama, maka upah yang
dijanjikan itu berserikat antara keduanya (dibagi-bagikan).
D. Sighah Akad Ji’alah
Akad ji’alah
adalah komitmen berdasarkan kehendak satu pihak, sehingga akad ji’alah
tidak terjadi kecuali dengan adanya shigah dari yang akan memberi upah (ja’il)
dengan shigah-shigah dalam definisi di atas dan yang sejenisnya. Shigah
ini berisi izin untuk melaksanakan dengan permintaan yang jelas, menyebutkan
imbalan yang jelas, dan diinginkan secara umum serta adanya komitmen untuk itu
memenuhinya. Apabila seseorang pelaksana akad (‘amil) memulai pekerjaan ji’alah
tanpa izin dari pemberi upah atau ia memberi izin kepada seseorang tapi yang
mengerjakannya orang lain, maka orang itu tidak berhak mendapatkan apa-apa. Hal
itu karena pada kondisi pertama orang itu bekrja dengan sukarela; dan pada kondisi
kedua orang itu tidak melakukan apa-apa. Tidak disyaratkan bagi ja’il
harus seorang pemilik barang dalam ji’alah, sehingga dibolehkan bagi
selain pemilik barang untuk memberikan upah dan orang yang dapat mengembalikan
sesuatu itu berhak menerima upah tersebut.
Juga tidak
disayaratkan adanya ucapan qabul (penerimaan) dari ‘amil (pelaksana),
sekalipun ja’il telah mengkhususkan orang itu untuk melaksanakan akad
ji’alah tersebut, karena akad ini merupakan komitmen dari satu pihak
sebagaimana telah dijelaskan di atas. Akad ji’alah diperbolehkan
dikhususkan untuk orang tertentu saja atau untuk umum. Seorang ja’il
juga dibolehkan untuk memberikan bagi orang khusus imbalan tertentu dan bagi
orang lain imbalan yang berbeda.
E. Pembatalan Ji’alah
Tiap-tiap
keduanya, boleh membatalkan/menghentikan perjanjian sebelum bekerja. Kalau yang
membatalkannya orang yang bekerja dan dia tidak mendapat upah walaupun dia
sudah bekerja. Tetapi kalau yang membatalkan dari pihak yang menjanjikan upah,
maka yang bekerja berhak menuntut upah sebanyak pekerjaan yang sudah dikerjakan.
F. Hukum Perselisihan Pemilik dan
‘Amil
Jika terjadi
perselisihan antara pemilik akad ji’alah (ja’il) dan amil, dalam masalah
asal persyaratan upah, misalkan salah satunya mengingkari persyaratan tersebut,
maka orang yang mengingkari itu yang dibenarkan sumpahnya. Seperti jika amil
berkata, “kamu mensyratkan memberi upah pada saya,” tapi sipemilik
mengingkarinya, maka sipemilik itu dibenarkan dengan sumpahnya. Hal itu karena
asalnya tidak ada persyaratan upah.
Dan jika
mereka berdua berselisih dalam jenis pekerjaannya, seperti mengembalikan mobil
yang hilang, atau barang yang hilang, atau berselisih tentang siapa yang
mengerjakannya, maka yang dibenarkan adalah yang melaksanakan pekrjaan (‘amil)
tersebut dengan sumpahnya. Karena amil mengaku sesuatu yang asalnya
tidak ada, maka orang yang mengingkarinya dibenarkan dengan sumpahnya.
Demikian
juga, orang yang mengingkari dibenarkan jika merka berselisih dalam usaha yang
dilakukan amil. Misalkan si pemilik berkata, “kamu bukan yang
mengembalikannnya, tapi dia (binatang atau barang) yang datang atau kembali
sendiri.” Maka si pemilik itu dibenarkan, karena asalnya tidak ada
pengembalian.
Dan jika
mereka berdua berselisih tentang besarnya upah, atau jauhnya jarak, atau tempat
yang telah diperkirakan adanya barang yang hilang, maka ulama Malikiyyah dan
Syafi’iyah berpendapan bahawa keduanya disumpah dan akad ji’alahnya
dibatalkan, lalu si pemilik wajib memberikan upah yang umum berlaku.
Sedangkan ulama
Hanabilah berpendapat bahwa ucapan yang dibenarkan adalah ucapan si pemilik
dengan sumpahnya, karena asalnya tidak ada tambahan yang diperselisihkan. Juga
karena ucapan yang dibenarkan adalah ucapan si pemilik dalam ada tidaknya
imbalan, maka demikian juga dalam jumlahnya. Selain itu, karena si pemilik
mengingkari yang diaku oleh amil yang melebihi dari yang pemilik akui, dan
asalnya si pemilik itu bebas dari yang diaku oleh amil. Dan bisa saja
mereka berdua bersumpah seperti penjual dan pembeli jika keduanya berselisih
tentang besarnya harga.
G. Hikmah Ji’alah
Ji’alah merupakan pemberian
penghargaan kepada orang lain berupa materi karena orang itu telah bekerja dan
membantu mengembalikan sesuatu yang berharga. Baik itu berupa materi (barang
yang hilang) atau mengembalikan kesehatan atau membantu seseorang menghafal
al-Qur’an. Hikmah yang dapat dipetik adalah dengan ji’alah dapat memperkuat
persaudaraan dan persahabatan, menanamkan sikap saling menghargai dan akhirnya
tercipta sebuah komunitas yang saling tolong-menolong dan bahu-membahu. Dengan ji’alah,
akan terbangun suatu semangat dalam melakukan sesuatu bagi para pekerja.
Terkait
dengan ji’alah sebagai sesuatu pekerjaan yang baik, Islam mengajarkan
bahwa Allah selalu menjanjikan balasan berupa surga bagi mereka yang mau
melaksanakan perintahnya, seseorang akan memperoleh pahala dari pekerjaan yang
baik yang ia kerjakan.
BAB III
ANALISIS
Berbicara
tentang akad ji’alah, ji’alah adalah salah satu dari kebiasaan
umat manusia pada zaman ini, dan kita semua telah mengetahui bahwa ji’alah
telah ada sejak zaman dahulu. Ji’alah adalah jenis akad untuk suatu manfaat
materi yang diduga kuat dapat diperoleh. Ji’alah diperbolehkan karena lantaran
diperlukan.
Namun yang
perlu diperhatikan di sini adalah bahwa pelaksanaan ji’alah termasuk
bermacam-macam sayembara dan pertandingan seperti pada zaman sekarang ini
haruslah dilihat dan dilaksanakan dalam suatu kegiatan yang bebas dari unsur
penipuan, penganiayaan, dan saling merugikan. Didalam pelaksanaan ji’alah.
Penekanan pemberian imbalan haruslah didasarkan atas prestasi dan usaha yang
jauh dari unsur-unsur yang bertentangan dengan ajaran agama islam.
Ji’alah adalah akad yang
diperbolehkan untuk membatalkannya, yaitu kedu pihak boleh untuk
membatalkannya, adalah menjadi hak bagi si pelaksana ji’alah untuk membatalkan,
sebelum ia menyelesaikan pekerjaan, dan ia pun berhak untuk membatalkan sesudah
itu, jika ia merelakannya amaka haknya gugur. Adapun bagi yang menyuruh tidak
berhak membatalkan jika si pelaksana sudah menyukseskan atau menyelesaikan
pekerjanya.
BAB IV
PENUTUP
A.
Simpulan
Ji’alah diartikan sebagai sesuatu
yang disiapkan untuk diberikan kepada seseorang yang berhasil melakukan
perbuatan tertentu, atau juga diartikan sebagai sesuatu yang diberikan
kepada sesorang karena telah melakukan pekerjaan tertentu. Ji’alah juga
dapat dinamakan janji memberikan hadiah (bonus, komisi atau upah tertentu),
maka ji’alah adalah akad atau komitmen dengan kehendak satu pihak. Dan
berdasarkan landasah hukum tentang ji’alah, maka ji’alah hukumnya yaitu mubah
atau dengan kata lain boleh dilakukan akan tetapi dengan syarat-syarat tertentu
juga yang telah di tentukan ilmu fiqih yang diajarkan dalam agama islam.